SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG PECINTA BUDAYA JAWA. MULIAKAN BUDAYA SEBAGAI PENYANGGA KERAGAMAN & KERUKUNAN BANGSA.

Kamis, 03 Februari 2011

LARAS MADYO

Masyarakat Jawa mengenal kesenian “Laras Madya” sebagai tembang tengahan. Laras berarti tembang atau lagu, sedang madya itu tengah atau sedang. Bisa jadi, disebut lagu tengahan karena dianggap tidak serumit ataupun sekomplit karawitan. Mungkin juga karena yang dimainkan merupakan tembang dengan nada-nada sedang. Namun yang nampaknya lebih mendekati adalah factor peleburan budaya pesisiran ke dalam budaya mataraman. Jika masyarakat pesisir mengenal sholawatan baik dengan panduan kitab al-Barjanzi, Burdah, Diba’ ataupun Shimtut Durar, maka ‘wongso’ mataraman lebih mengenal serat-serat kejawen seperti serat centini misalnya. Dengan melihat persebaran budaya Jawa, maka kehadiran Laras Madya yang mempedomani Serat Wulangreh nampaknya menjembatani dua genre budaya Jawa tersebut. Kesenian Laras Madya ini lahir di Surakarta (Solo) pada zaman pemerintahan Susuhunan Pakubuwono ke IV. Sejak dahulu sampai sekarang kesenian Slawatan Laras Madya ini hidup dan berkembang masih seperti aslinya.
Bila tradisi sholawatan membacakan risalah biografi dan keteladanan Nabi Muhammad saw, maka kesenian Laras Madya membacakan tuntunan pada setiap siklus hidup manusia. Digambarkan misalnya, manakala manusia baru lahir maka ingatlah ‘Mijil’, pada saat remaja dan menyandang percintaan maka renungkan Asmarandana dan manakala anda sudah menginjak usia 50 tahun ke atas, maka hayatilah Pangkur (opo-opo mungkur) karena pada saatnya nanti manusia akan masuk liang lahat alias Pocung. Demikian pula untuk macapat, durma dan lain sebagainya. Semua tembang dalam Laras Madya seolah mengingatkan fase-fase perkembangan manusia sembari mengingatkan bahwa makna kesalehan pada setiap fase ternyata berbeda. Dalam Laras Madya, Kesalehan manusia senantiasa bertransformasi menuju kematangan dan kedewasaan.
Alat-alat yang digunakan hampir sama dengan sholawatan pesisiran tetapi perbedaannya mungkin di laras madya ini ada semacam kempul. Kempul alat perkusi yang bentuknya hampir mirip dengan bonang pada kesenian karawitan. suaranya hanya dua macem,ning dan nong. Ning-nong-ning-Ning-nong-ning, begitulah bunyinya dan dengan bunyi ini yang menjadikan khas dari Laras Madya.
Di luar para pemain musiknya, Seni Laras Madya mengenal pemain lain yang disebut Bowo dan Gerong. Bowo merupakan bait-bait pembuka, semacam intro yang tidak diiringi music. Lazimnya bowo dibawakan oleh seseorang yang dianggap mumpuni, sesepuh atau pemimpin kelompok. Orang yang membawakan bowo ini tidak sembarangan, karena bowo ini merupakan pintu gerbang dimana kenikmatan sebuah lagu harus dimulai maka suara pelantunnya harus benar-benar mantap. Hanya saja, dari satu tembang ke tembang berikutnya, bowo tidak dimonopoli oleh seorang saja, namun kadang berganti orang.
Sedang yang disebut Gerong merupakan pemain Laras Madyo yang tidak memegang alat music, namun berpartisipasi dalam memberikan “Senggakan (baca: Sengga-an)” dan “Iringan tepuk tangan” yang mengiringi permainan musik Laras Madya. Senggakan berupa suara-suara sahutan yang menutup, menyusuli ataupun menselaraskan ketukan dengan irama tembang. Adapun iringan tepukan tangan berfungsi merampakkan alunan music sehingga menjadi hidup dan meriah. Gerong merupakan para pemain pengendali Senggakan dan Iringan Tepuk Tangan, karena seni Laras Madya sangat terbuka bagi partisipasi audiens terutama dalam hal senggakan dan tepuk tangan. Hanya saja partisipasi penonton semacam dimoderasi oleh Gerong karena partisipasi tersebut dilarang, misalnya, merusak keseriusan Bowo.
Bersambung ...
By Qowim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar